Mohon tunggu...
Maria Sugiharti
Maria Sugiharti Mohon Tunggu... -

Perantau. Pernah jadi pelajar di sebuah Sekolah Pertanian, berebut bis menuju kampus di Indralaya, merangkai mimpi di kebun sawit dan membangun mimpi di kota dingin di utara Jepang. Berkeinginan menjadi petani dengan tanda kutip, meski sekarang berteman dengan berbagai istilah asing di dunia baru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenapa Harus Tanah Ini

1 Februari 2009   04:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:20 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENJELANG tengah malam sebuah sms yang berisi permintaan untuk segera menelpon ke rumah masuk ke ponsel.  Setelah berkali-kali menahan emosi dengan koneksi yang sangat lambat akhirnya tersambung juga.  Rupanya sebuah tawaran....10 ha tanah dijual dengan harga 26 juta rupiah,cocok untuk membuat kebun kelapa sawit atau karet...Dalam hati sempat berpikir, wah murah nih...Pembicaraan berlanjut dengan pertanyaanku mengenai status tanah itu, yang ternyata tanpa sertifikat dan hanya menggunakan Surat Keterangan Kades.  Itu sudah umum, karena tanah tempat rumah keluargaku berdiri yang sudah 30 tahun ditempati saja masih hak pakai statusnya.  Berbagai argumen dikemukakan, salah satunya dengan menyebutkan bahwa disekitar tanah tersebut sudah banyak yang mulai menanam karet dan kelapa sawit.  Ketika ku tanyakan letak tanah tersebut...wah...

Ternyata tanah tersebut di sebuah kawasan pinggiran sungai musi, yang merupakan lahan sawah lebak yang sangat subur.  Dulu bila musim tanam tiba, dan air sedang surut, semak-semak akan dibabat, benih padi ditebarkan, dan 6 bulan setelah itu para petani akan datang untuk memanen padi.  Selama masa 6 bulan itu, daerah ini akan mirip lautan di saat pasang, dan diwaktu surut merupakan tempat memancing yang nyaman.  Ikan Gabus, betok, sepat,lele,dan belut sangat mudah di dapat disini.  Ditambah dengan kangkung dan genjer yang tumbuh liar tapi tetap enak bila sudah diatas meja makan.  Sebuah kenangan masa kecil.

Dan tanah inilah yang akan segera berubah menjadi areal perkebunan rakyat.  Sebuah perkebunan tanpa arahan, tanpa koordinasi, dan tentunya tanpa pengenalan terhadap sistem pertanian yang berkelanjutan.  Ya, petani perkebunan memang lebih makmur , meskipun akhir akhir ini terpuruk.  Tapi mereka peroleh semua tidak dengan sekejab, ada proses, ada masa pahit dan ada perjuangan.  Kelapa sawit tidak salah, tapi kenapa harus tanah ini.  Kenapa begitu mudah tanah berpindah kepemilikan, ini memang tanah nenek moyang tapi juga adalah tanah titipan.  Ah..mungkin generasi selanjutnya tidak akan tahu bagaimana nikmatnya memancing ikan di tanah lebak.

Antara idealisme dan peluang berkejaran saat ini...entah yang mana yang akan dipilih...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun