Mohon tunggu...
Mimbar Akademik Kompas
Mimbar Akademik Kompas Mohon Tunggu... Editor - Scope: Sosiohumaniora‬

Mimbar Akademik Kompas adalah rubrik khusus di surat kabar Kompas yang menyediakan ruang bagi para akademisi, peneliti, dan pakar untuk mempublikasikan artikel ilmiah, analisis, dan opini tentang berbagai isu penting. Rubrik ini bertujuan untuk menyebarluaskan pengetahuan akademik kepada khalayak umum, menghubungkan dunia akademik dengan masyarakat luas, dan memfasilitasi diskusi berbasis data dan penelitian yang dapat memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Link akses pengiriman artikel anda ke # mimbarakademikkompas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Respon Atas Polahi?

28 Juli 2024   18:15 Diperbarui: 28 Juli 2024   20:12 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Enggan rasanya menuliskan artikel ini. Mengingat, para pembacanya adalah orang yang sudah lama "kaffah" dalam keilmuan mereka. Diskursus mengenai Polahi, penulis ingin mengajak kita semua, memulai dengan tiga pertanyaan, sebagai bahan untuk berkontemplasi. Pertama, mengapa Polahi itu ada? Kedua, bagaimana mereka sampai ada? Ketiga, untuk apa keberadaanya kita kaji? Ulasan pertanyaan ini, juga sebagai respon atas klaim argumentasi yang disampaikan Basri Amin, dalam prolog karyanya Pomalingo & Rahim (2019), yang secara tekstual "Polahi memiliki otonomi komunitas yang mencerminkan kemandiriannya, karena mereka tidak bergantung pada sistem, atau struktur organisasi yang modern dan lebih bersifat nomaden."

Hemat penulis, hal ini aga sedikit menggelitik. Mengingat, ruang keterbukaan Polahi atas "era modern" masih sangat terbuka lebar. Hanya saja, harus diakui sistem pemerintahan kita, masih sangat minim akan inovasi dalam merancang program yang sifatnya jangka panjang, guna  mengakomodir hak-hak mereka. Padahal, banyak riset yang dilakukan oleh beberapa akademisi kampus, yang secara keseluruhan riset itu mengklaim hal yang sama bahwa, Polahi adalah warga asli masyarakat Gorontalo. Hadirnya riset tersebut, sekiranya membuka cakrawala berpikir kita, untuk menjawab premis pertanyaan, yang sudah lebih awal diajukan oleh penulis.

Sebelum jauh menguraikan dua versi sejarah keberadaan Polahi di Gorontalo, penulis akan lebih memfokuskan pada suku Polahi di Desa Pangahu, Kecamatan Asparaga. Hal ini dianggap menarik, sebab penelitian-penelitian terdahulu banyak mengulas keberadaan Polahi di wilayah tersebut. Titik perdebatan yang selama ini mencuat di permukaan publik adalah, soal versi sejarah soal asal usul keberadaan mereka. Olehnya, pada pembahasan ini, penulisan menghadirkan dua versi sejarah berdasarkan literatur review yang diperoleh penulis.

1. Asal Muasal Keberadaan Polahi

a. Polahi Versi Zaman Penjajahan VOC

Karya tulis Pomalingo (2015), Rahim (2015), dan Meteng et al. (2021) mengungkapkan bahwa Polahi adalah orang-orang yang pada masa kolonialisme mencari rotan dan damar dan dipaksa bekerja. Mereka kemudian memutuskan untuk tinggal di hutan dan tidak kembali ke kampung halaman mereka hingga setelah Gorontalo merdeka pada tahun 1942. Secara khusus, dalam bahasa Gorontalo, "Polahi" bermakna "pelarian," yang merujuk pada peristiwa masa pemerintahan Raja Eyato dan Raja Biya (1677-1679) serta masa dua tokoh masyarakat Sumalata, Olabu dan Tamu, sekitar tahun 1899, ketika masyarakat Gorontalo melarikan diri dan mengungsi ke dalam hutan. Peristiwa ini dikenal dengan periode perlawanan pertama Raja Eyato (1673-1679) yang terjadi pada tahun 1674, sebagai upaya melawan Ternate dan kompeni Belanda serta mencoba membebaskan diri dari penjajahan Belanda yang membantu Ternate.         

Kendati demikian, menurut Van Baak yang dikutip oleh Haga (1931), jumlah penduduk Kerajaan Gorontalo pada saat itu diperkirakan mencapai 40.000 jiwa, dengan sekitar sepertiga dari mereka berada dalam kondisi perbudakan. Para marsaoleh (kepala distrik) diberi kuasa untuk meminta wajib kerja (verplichte diensten) dan penyerahan wajib (verplichte leveranties) dari penduduk di wilayah distrik masing-masing. Setiap keluarga diharuskan membayar pajak setiap tahun, yang bisa digantikan dengan emas pasir. Pembangunan atau perbaikan jalan dan jembatan memerlukan tambahan tenaga kerja, sehingga para marsaoleh memerintahkan wajib kerja kepada penduduk. Periode perbudakan yang dialami oleh masyarakat Gorontalo berlangsung lama selama masa penjajahan, dan mereka terpaksa hidup dalam keterbatasan serta menjalani pekerjaan sesuai keinginan penjajah (Pomalingo, 2015).

Sebagai implikasi dari peristiwa itu, banyak penduduk Gorontalo memilih untuk meninggalkan kampung dan harta benda mereka, kemudian mengungsi ke hutan-hutan atau daerah pegunungan. Mereka merasa terpaksa mencari perlindungan di wilayah-wilayah yang terpencil ini untuk menghindari penindasan dan eksploitasi lebih lanjut oleh para penjajah. Dalam pengungsian tersebut, mereka umumnya menetap di tempat-tempat yang sulit dijangkau dan berusaha mencari nafkah dengan mengumpulkan hasil-hasil hutan, terutama rotan, yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kehidupan di hutan yang penuh tantangan membuat mereka mengembangkan keterampilan bertahan hidup yang unik, serta membangun komunitas-komunitas kecil yang mandiri dan terisolasi dari dunia luar.

b. Polahi Versi Pertengkaran Hemuto dan Limuno

Menurut Madjowa (1997), Hemuto adalah orang yang pertama kali mengasingkan diri di hutan akibat kalah melawan Limuno. Rasa malu yang menyelimuti adalah faktor yang mendasari pelarianya tersebut. (Pomalingo, 2015). Dalam konteks sosial masyarakat Gorontalo, rasa malu acap kali penyebutanya "molito". Kekalahan dalam pertarungan, terutama dalam konteks yang melibatkan kehormatan dan status sosial, dapat menjadi beban psikologis yang berat. Rasa malu yang dialami Hemuto lebih dari sekadar perasaan pribadi, tetapi juga sebuah stigma sosial yang mempengaruhi persepsi dirinya di mata komunitas. Pilihan Hemuto untuk mengasingkan diri di hutan menunjukkan adanya cara-cara tradisional dalam menghadapi kegagalan dan stigma sosial. Pengasingan diri ini mungkin dilihat sebagai upaya untuk memulihkan harga diri dan menenangkan diri dari tekanan sosial. Dalam budaya Gorontalo, seperti dalam banyak budaya tradisional lainnya, tindakan semacam ini dapat dimaknai sebagai bentuk pertobatan atau pencarian makna baru dalam hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun