Setelah saya melihat beberapa artikel dapat saya jelaskan bahwa perkembangan masyarakat modern yang disertai dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan semakin terbukanya kesempatan individu untuk berinteraksi dengan sesama. Media sosial menjadi sebuah tempat bagi para warganet ataunetizendalam menjalankan beberapa ajang interaksi tanpa harus mengenal, mengetahui identitas, dan saling bertemu. Salah satu bentuknya dengan saling memberikan komentar tentang apa yang suatu individu lihat dan rasakan dalam sebuah postingan atau berita.
Media sosial sebagai salah satu bentuk media baru menjadi fenomena di dunia termasuk indonesia dengan peningkatan jumlah pengguna yang sangat drastis. Data Asosiasi Pengguna Jaringan Internet Indonesia (APJII) per Januari 2016 menyebut ada 79 juta pengguna media sosial di Indonesia. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan makin beragamnya fitur media sosial yang bisa dimanfaatkan penggunanya. Beragam penelitian tentang motif penggunaan media sosial menunjukkan berbagai keleluasaan yang diperoleh pengguna seperti dalam mencari informasi alternatif, berkomunikasi dengan rekan jauh, atau sebagai ruang eksistensi diri.
Secara konsep, peran dasar media sosial untuk berbagi informasi, komunitas virtual, dan forum diskusi. Peran tersebut dapat dicapai karena sifatnya yang partisipatif, terbuka, mendorong percakapan, komunitas, dan keterhubungan antar pengguna. Media sosial memungkinkan semua pengguna menjadi produsen informasi, menyajikan ruang terbuka untuk merespon informasi, pada akhirnya dapat membangun komunitas virtual yang diwarnai diskusi di ruang maya. Penelitian menunjukkan
 adanya peningkatan intensitas diskusi di berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, maupun politik.
Permasalahannya, keleluasaan berdiskusi di media sosial ini menyiratkan beberapa dampak negatif. Salah satu yang dipotret ialah hadir dan meningkatnya intensitas ujaran kebencian (hate speech). Kebebasan di media sosial menjadi penyebab individu tidak merasa takut untuk meninggalkan beberapa ujaran kebencian di suatu postingan atau berita. Anonimitas yang disediakan media sosial juga menyebabkan banyak orang merasa aman untuk mengatakan hal apapun, bahkan meninggalkan ungkapan cacian, kutukan, dan hinaan tanpa diketahui identitasnya oleh orang banyak. Terlebih orang yang mereka hujat bukanlah orang yang mereka kenal sehingga mengurangi dampak perasaan bersalah.
Sudah menjadi hal umum, bahwa banyak individu yang memberikan hujatan dengan kedok mengkritik. Mereka berdalih menyampaikan suatu pesan untuk memperbaiki sesuatu yang dianggap salah dari individu yang dikritik. Sayangnya, hal yang disebut kritik tersebut bahkan sudah tidak dapat dianggap membangun dan cenderung mengarah terhadap penghinaan. Jadi, apa esensi dari kritik tersebut? Apakah mungkin hanya untuk sensasi pribadi semata? Selain itu, komentar negatif berupa hujatan juga mudah mempengaruhi pikiran individu lain yang membacanya. Sehingga timbulah fenomena "ikut-ikutan" yang menyebabkan banyaknya warganet tergiring untuk ikut melemparkan komentar negatif. Sekadar untuk mendapat banyak dukungan, terlihat keren, atau mengikuti tren, tanpa mengetahui apa yang terjadi dan inti permasalahannya.
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, potensi dampak tindakan ujaran kebencian yang muncul juga semakin besar, terutama dengan hadirnya berbagai medium perantara penyebaran ujaran kebencian di internet, seperti platform media sosial. Tidak jarang ditemui unggahan konten di media sosial yang mengandung makna kebencian, informasi yang menyesatkan, bahkan unsur-unsur ekstremisme. Penyebaran konten ujaran kebencian berpotensi memunculkan kekerasan fisik dan
 konflik sosial. Terlepas dari meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dampak yang merugikan akibat ujaran kebencian di media sosial, hanya sedikit konsensus yang memusatkan perhatian pada pendekatan untuk menguranginya.
Wacana ujaran kebencian ini semakin serius manakala banyak kasus kekerasan yang terjadi akibat provokasi via media sosial. Sebagai contoh kasus pembakaran masjid Tolikara di Papua menimbulkan keriuhan yang meluas karena simpang siurnya informasi di media sosial. Kalimat bersifat SARA yang menyerang leluasa ditemukan. Bentuk lain, ialah provokasi yang dilakukan pendukung Persija Jakarta saat pertandingan antara Sriwijaya lawan Persib Bandung. Hasutan melalui media sosial mendorong aksi pengrusakan dan penyerangan aparat.
Media sosial atau sosial media (Sosmed) saat ini tak ubahnya seperti senjata tajam yang siap menerkam siapa saja. Ia dapat digunakan untuk agenda kebaikan, seperti; menyampaikan informasi, menyambung tali silaturahim dan berbagi ilmu pengetahuan, dan dapat pula diarahkan untuk perbuatan tidak terpuji, seperti ujaran kebencian, mengunjing, menghujat, Hoax, dan memfitnah oranglain yang hanya untuk memuaskan kepentingan sesaat.
Boleh jadi pada saat update status tidak ada darah yang tertumpah. Namun coba kita berpikir sejenak, tidak jarang dengan status ujaran kebencian yang dibuat, telah mengundang provokasi, konflik, yang berakibat terjadi permusuhan dan kebencian. Kalau kita melihat fenomena di dunia maya ini, khususnya di sosial media. Sudah tidak ada lagi sopan santun, dan tata karma. Padahal social media sejatinya dapat kita gunakan untuk kebaikan.