Aku bersua dengan matahari yang sedang memanen daun-daun cempaka. Di batas belantara yang ditandai dengan mata air yang berasal dari airmata perbukitan yang mengalir seperti goresan takdir.
Aku mengambil sehelai kenangan yang terjatuh dan robek karena usia. Membacanya sebagai pasal-pasal lama. Tapi entah kenapa tak pudar oleh zaman. Mungkin karena kenangan itu dilahirkan dari rahim ibunda. Saat aku masih belum mengenal lara. Dan cuaca setiap harinya selalu baik-baik saja.
Membaca kenangan tidak semudah menghafal ayat-ayat cinta. Harus menyusup jauh ke labirin otak. Sementara jantung seolah ditumbuhi banyak onak. Tapi aku tetap baik-baik saja. Tidak ada kenangan yang sanggup melukai hari ini. Kecuali jika sengaja kita asah dengan belati.
Aku pergi memunggungi senja dengan langkah terbata-bata. Aku tinggalkan kenangan di langkan hutan yang sendirian. Biarlah serasah yang basah karena hujan menyimpannya beberapa lama. Sebelum kemarau mengeringkan dan menerbangkan helaiannya kembali kepadaku. Saat aku memang menunggu. Memutarnya sebagai film bisu yang mengharu biru.
9 Nopember 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI