Mendengarkan kecapi perlahan menuruni perbukitan. Melewati hutan Damar yang dirimbuni oleh keranda dan pusara masa silam. Membuatku kembali memunguti keping-keping kenangan. Tak berbentuk lagi. Hanya berupa remah-remah sepi.
Suara lemah seruling mendaki langit pada pagi yang begitu sederhana. Selemah pokok Kamboja yang baru saja menggugurkan bunganya. Di tanah-tanah yang menggigil. Dari sekian banyak hati yang berusaha keras untuk bertamsil.
Embun yang tersisa tergelincir dari permukaan daun Mangga. Pecah di rerumputan yang sengaja dihampar hujan tadi malam. Selama beberapa jam. Di musim yang kali ini lebih memilih untuk merintih-rintih. Daripada harus memenuhi panggilan almanak dengan teriakan. Dalam sebuah episode cuaca yang kehilangan percakapan.
Udara dingin mengalir seperti sungai dalam dekapan ngarai. Menyembunyikan banyak sekali potongan frasa andai. Ketika ruh dan hati berada di antara mata badai.
Tamsil dari tanah yang menggigil. Berulang-ulang tampil dalam ingatan. Seperti kilas balik yang mencekam. Dari sebuah film bisu yang kehabisan masa lalu. Berikut lidah-lidah kelu yang lantas membatu.
Bogor, 22 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H