Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tamsil dari Tanah yang Menggigil

22 Oktober 2020   05:53 Diperbarui: 22 Oktober 2020   05:56 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendengarkan kecapi perlahan menuruni perbukitan. Melewati hutan Damar yang dirimbuni oleh keranda dan pusara masa silam. Membuatku kembali memunguti keping-keping kenangan. Tak berbentuk lagi. Hanya berupa remah-remah sepi.

Suara lemah seruling mendaki langit pada pagi yang begitu sederhana. Selemah pokok Kamboja yang baru saja menggugurkan bunganya. Di tanah-tanah yang menggigil. Dari sekian banyak hati yang berusaha keras untuk bertamsil.

Embun yang tersisa tergelincir dari permukaan daun Mangga. Pecah di rerumputan yang sengaja dihampar hujan tadi malam. Selama beberapa jam. Di musim yang kali ini lebih memilih untuk merintih-rintih. Daripada harus memenuhi panggilan almanak dengan teriakan. Dalam sebuah episode cuaca yang kehilangan percakapan.

Udara dingin mengalir seperti sungai dalam dekapan ngarai. Menyembunyikan banyak sekali potongan frasa andai. Ketika ruh dan hati berada di antara mata badai.

Tamsil dari tanah yang menggigil. Berulang-ulang tampil dalam ingatan. Seperti kilas balik yang mencekam. Dari sebuah film bisu yang kehabisan masa lalu. Berikut lidah-lidah kelu yang lantas membatu.

Bogor, 22 Oktober 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun