Malam siapa gerangan yang begini tenggelam. Larut dalam secangkir kopi sacetan. Bersama sedikit nyanyian. Dari lintang kemukus yang nyaris saja menjadi perdebatan.
Sedangkan langit hanya bisa bergumam. Melalui hujan semenjana yang jatuh secara sederhana. Dan sehelai daun yang diterbangkan gulita, melayang di antara hati orang-orang yang sedang patah hatinya.
Aku menuliskan beberapa patah kata yang lantas patah. Menjadi beberapa bagian teka-teki seperti apa cara badai merasuah. Keinginan. Juga sisa-sisa pertanyaan.
Kota-kota yang sedang tertidur saling berbalas dengkur. Mengiringi langkah para pekerja malam yang masih menyisakan beberapa bata dan alas kaca. Di sebuah menara. Lalu bersenda gurau menghabiskan canda yang tersisa bersama para pedagang kaki lima.
Gang-gang dan trotoar saling bertukar kesepian. Mengusap cahaya temaram lampu. Untuk kemudian mendaki kabut tipis. Dari udara kota yang sama sekali tidak romantis.
Aku berhenti menuliskan kata-kata yang lantas merupa umpatan durjana. Ke dalam sajak-sajak renta yang kehabisan nyawa.
Di kegelapan kumuh yang tetap saja terasa jumawa.
Bogor, 12 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H