Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Hujan, Sajak-sajak, dan Cermin yang Retak

19 September 2020   19:02 Diperbarui: 19 September 2020   21:18 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan jatuh di atas kota yang dingin. Membawa pesan tersirat. Malam-malam akan semakin berat. Ketika purnama tertatih-tatih membawa tubuhnya. Menelusuri sisa jejak langkan kota.

Berita simpang siur berdesing-desing. Seperti peluru merobek-robek hening. Menjadi tajuk rencana yang sama sekali tak direncanakan. Menjadi katastropik paripurna yang sama sekali tidak dipurnakan.

Separuh isi bumi terpekur menghitung almanak. Tanggal-tanggal berjatuhan seperti ngengat. Sementara waktu terus berlari. Laksana api. Di tengah-tengah savana yang mati.

Sajak-sajak ditulis dengan mata terpejam. Syair-syairnya begitu lebam. Seolah setiap kata menghindari majasnya. Seperti larinya kuda tanpa pelana.

Ini sesungguhnya bukanlah petaka. Hanya hikayat yang dimulai dari prakata. Di dalam sejarah yang mengulang abad-abadnya. Semenjak dahulu. Saat semua cermin dibuat dari retakan masa lalu.

Bogor, 19 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun