Aku lebih memilih, menanami remah matahari, pada engkau punya kedalaman hati. Daripada harus terjebak di musim dingin. Dari sorot matamu yang berangin.
Aku lebih memilih, menganyam rintik hujan, menjadi gerimis yang kesepian. Daripada harus menyaksikan taifun. Dari tatapanmu yang habis-habisan melanun.
Aku lebih memilih, memahat sisa cahaya purnama, dari rembulan yang telah mati lama. Daripada harus menjumpai kegelapan. Dari sudut netramu yang menjelma malam.
Aku lebih memilih, menunggangi buih ombak, dari lautan paling beriak. Daripada harus berdamai dengan daratan. Dari pandanganmu yang membuatku belingsatan.
Mungkin aku, hanyalah sepotong rindu. Nampak seperti kabut, di cuaca yang membatu.
Tapi aku, bukanlah pecinta yang bisu. Karena dari iris mataku, terlahirlah sajak-sajak yang sama sekali tidak terdengar gagu.
Bogor, 14 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H