Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Kita, Sajak-sajak, dan Secangkir Teh

2 Agustus 2020   08:42 Diperbarui: 6 Agustus 2020   19:05 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (pixabay.com)

Kita menemukan sejumput pagi yang tersembunyi di ketiak daun-daun melati. Mengayun lembut cahaya yang tiba. Dengan tatapan semesra Mersawa kepada hutan-hutannya.

Kita menuliskan secarik mimpi yang terselip di penghujung dinihari. Menyambut kedatangan nanti. Ketika senja kembali mempersiapkan malamnya.

Kita selalu berdendang tentang kegembiraan yang berlimpah ruah pada rinai hujan. Menghamburkan aroma tak biasa dari petrikor yang saling berdansa. Diiringi musik klasik yang dimainkan oleh ujung atap dan jalan aspal. Saat instrumen kebahagiaan mengaransemen sendiri perjalanan kisahnya.
.
Kita membaca sajak-sajak yang sempat ditenggelamkan angin barat. Mengurai bait demi bait. Manakala cinta mengaku dengan sebaik-baiknya cara.

Secangkir teh di beranda. Tak sanggup menyudahi lamunan. Tentang kapal para pesiar yang berziarah di lautan. Kemudian, menjenazahkan segenap sisa-sisa kepedihan.

Bogor, 2 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun