Di saat sejarah berjalan tertatih dan menjadi terlalu letih sehingga lupa menuliskan yang sahih, maka setiap persinggahan maupun perhentian hanya akan menjadi semacam waktu yang berselisih.
Menggugat waktu. Seperti mengurai metaformosa kupu-kupu. Semenjak musim dimulai saat bunga-bunga yang mekar terlihat seperti potongan-potongan gambar. Menuju pertengahan musim hujan ketika petrikornya menguar. Lalu diakhiri oleh musim daun-daun gugur di tanah kering yang menyerupai sebuah altar.
Bagi mereka yang merasa masa lalunya adalah kilasan-kilasan kecil film bisu, akan terus berusaha menggabungkannya menjadi satu dalam sebuah episode tak terputus oleh waktu. Mereka ingin menjadi malam tanpa kelam, pagi tanpa kabut, dan petang yang tak tercerabut.
Bagi mereka yang mengira masa lalunya adalah origami utuh dan tak tersentuh oleh waktu yang luruh, melipatnya baik-baik dalam sebuah diari yang ditanam pada memori. Tanpa harus memandang ke belakang karena itu semua akan menghabiskan waktu luang.
Menggugat waktu hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak terima pada apa yang disebut kelu. Sedangkan yang tidak menggugatnya, adalah orang-orang yang menyebut diri mereka telah bersekutu dengan rasa ngilu.
Bogor, 21 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H