Aku berada di bibir pegunungan sepi yang sedang mengecup kabutnya sendiri. Sedangkan kau sedang mengasuh anak-anak gelombang di tepi pantai yang menunggu hadirnya matahari. Kita bercakap-cakap dengan mata tak saling menatap. Melalui angin dingin Bulan Juni yang perlahan-lahan melindap.
Kau mengalirkan pesan tentang senyap yang tak juga melenyap. Dari hulu matamu yang kau bilang selalu menyimpan gelap. Aku katakan itu tentu anomali cuaca. Saat Juni mulai mengambil alih beberapa perkara.
Kau menjawab iya. Katamu semua baik-baik saja asal aku tak lupa menuliskan sajak-sajak yang ingat pada semakin tenggelamnya usia. Akupun mengatakan iya. Karena tidak bukanlah pilihan menyenangkan. Apalagi jika dikatakan pada peliknya labirin kerinduan.
Aku mendaki lebih tinggi agar sampai pada kepundan. Aku ingin menanami kawahnya dengan tembuni harapan. Hingga ketika nanti saat terjadi letusan, bukan kolom abu yang memekatkan angkasa. Tapi segulungan asa yang memenuhi pandangan mata.
Sementara kau menyibukkan diri dengan mengajarkan bagaimana cara terbaik melantunkan doa. Kepada pesisir yang lirih bergumam, pokok nyiur yang terdiam, dan kerumunan keinginan yang terpendam. Bahwa Tuhan akan selalu mendengarkan setiap kata dan tanda baca. Sehingga tak perlu menjeritkan ratapan yang bisa mengoyak gendang telinga.
Bogor, 1 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H