Hujan tiba dan mengetuk pintu rumah satu persatu. Mengabarkan tentang akan berakhirnya musim kelu. Sambil memainkan orkestra hingga dentingan harpa. Melalui rintik yang menerpa atap dan bertempias ke jendela.
Entah mungkin ini hujan di barisan paling akhir sebelum cuaca beranjak ke episode selanjutnya, atau bisa jadi hujan ini sengaja dijatuhkan oleh langit yang merasa suasana batin semua orang sedang tidak baik-baik saja.
Apapun itu. Hujan tetaplah menjadi seni ekspresi tingkat tinggi yang tidak bisa disamai bahkan oleh seribu Leonardo Da Vinci. Di setiap rintiknya yang biasa saja, terdapat kedalaman rahasia bagaimana Tuhan merapal Kun Fayakun-Nya.
Saat irama hujan kemudian berhenti dan digantikan oleh kegaduhan hati, malam terus merayap menuju ruang-ruang senyap. Meninggalkan aroma petrikor yang menyusup masuk ke wilayah penciuman orang-orang yang beberapa lama telah kehilangan rasa. Namun tetap menyimpan asa dalam gulungan semesta di dadanya.
Inilah yang dinamakan oleh filosofi SunTzu sebagai memenangkan peperangan dengan tidak melempar batu. Namun kesanggupan untuk bertahan hidup dengan tidak terseret-seret runcingnya masa lalu.
Bogor, 17 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H