Aku bersua dengan malam yang menganak sungaikan hujan. Dari balik jendela, aku bisa melihat kegelapan menari-nari dengan riang. Entah sedang merayakan apa tapi tentu saja aku turut bergembira melihat ada bahagia yang tidak lagi berahasia.
Aku tidak ingin sedikitpun berbincang. Ruang-ruang kepalaku sedang bersengketa dengan percakapan. Aku memilih untuk berdiam. Bagiku, vokal dan konsonan hanyalah berupa gumam.
Hujan sudah berhenti. Semenjak tadi. Menyibakkan awan yang menutupi serambi angkasa. Memperlihatkan purnama yang sudah patah di bagian tengahnya.
Mungkin ini saat yang tepat untuk bercerita mengenai beragam mimpi. Tentang dunia yang beradaptasi. Juga tentang segala isinya yang mengalami evolusi. Sementara kita sebagai penghuni terus saja menganak pinakkan revolusi industri.
Barangkali ini bukan saat yang tepat bagi sebuah cerita untuk diakhiri. Masih banyak halaman yang perlu dibuka. Dari bab-bab yang masih tersimpan di kotak pandora. Di buku-buku yang menyatakan diri sebagai fiksi. Tapi setiap kalimatnya menjadi rahim bagi lahirnya realita yang masih berupa tembuni.
Aku cukupkan saja. Bersua dengan satu malam dari ribuan malam sebelumnya, ternyata tetap terasa istimewa. Bisa jadi karena memang kita diciptakan sempurna. Namun tidak pernah merasa menjadi paripurna.
Bogor, 12 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H