Demi syair-syair yang mati suri karena dunia sejenak memutuskan untuk menyepi. Dan juga demi bait-bait puisi yang larut di antara hujan sore ini. Aku menuliskan kata-kata yang aku ambil dari hembusan angin yang terus saja mengirimkan pesan tentang betapa jauhnya jarak antara rasa dingin dan aura kehangatan. Pada malam ketika suara mengaji masih mengalir seperti sungai-sungai yang membelah pegunungan.
Itu seperti sebuah tembang yang didendangkan para Sunan saat tanah-tanah sedemikian kering sehingga hanya sanggup menumbuhkan debu-debu yang beterbangan. Membutakan mata. Mengiris lubang telinga. Dan membuat tersedak laring suara.
Ini bukan Ramadan yang berbeda. Tetap saja sama. Semenjak dahulu ketika hutan-hutan masih mengaum kencang, lautan menggeram-geram, dan langit sebersih wajah seorang kekasih yang mengikhlaskan keberangkatan.
Kalaupun ternyata orang-orang mengagungkan nama Tuhan di ceruk-ceruk terpencil dan kesepian. Tapi sembilan puluh sembilan namaNya tetap disebutkan. Pada bibir yang menggigil. Di sudut mulut yang terus saja memanggil.
Tidak ada yang berubah. Meski seincipun tentang keheningan yang memilih pasrah. Bersimpuh di batas antara langit dan bumi yang sedang mencoba membersihkan dirinya dari kotoran yang mengendap atas janji-janji tak terpenuhi yang melindap.
Untuk menjaga, memelihara, dan menanami setiap jengkal harapan dengan bunga-bunga. Lalu menyiarkan wanginya melalui berita-berita riang gembira. Bahwa manusia paling amnesia pun masih bisa membetulkan letak lupanya.
Kapan saja. Di mana saja. Dengan cara yang diketahui Tuhannya.
Bogor, 27 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H