Ketika sebuah negeri pada suatu saat bernafas tersengal-sengal mencari-cari udara yang sebelumnya diperjual belikan dengan mahal, langit memberinya saat itu juga. Bersama sebuah pesan sederhana yang siapapun tak pernah menduganya.
Aku tukar udara segar ini dengan pikiranmu yang paling makar. Semenjak dahulu kalian diingatkan tentang tindakan barbar yang kelak akan menuai panen hingar-bingar.
Negeri yang lebih banyak menggali tanah dibandingkan jutaan cacing tanah kesulitan mencari tempat berteduh karena pepohonan nyaris semua telah runtuh. Pilihannya hanya mendirikan gubuk atau mencari kosakata paling terkutuk dan mengatakan bahwa ini semua adalah nasib buruk.
Tidak ada pesan apa-apa dari siapapun juga karena semua kata telah kehabisan cara untuk berbicara. Sajak dan puisi pun hanya mampu teronggok di sudut paling gelap yang bahkan cahayapun tak bisa menembusnya.
Bukanlah salah sebuah negeri jika sungai-sungai yang mengaliri daratannya mengering dan hanya mampu menghanyutkan potongan plastik, besi dan batu bata. Itu salah gunung-gunung yang membiarkan saja dirinya dianiaya. Seharusnya mereka, gunung-gunung itu, meledakkan kepundan dan mengisi sungai-sungai itu dengan aliran lava.
Bahkan bisa saja seluruh samudera di dunia dijadikan sandera karena telah menyebabkan bukit-bukit es mencair sebelum waktunya. Tidak satupun negeri yang boleh dinyatakan bersalah karena diapun hanya pasrah dihuni oleh para durjana yang rajin berdandan dan sibuk membedaki muka sehingga tak ketahuan isi hati yang sebenarnya.
Kali ini pesan datang dari bumi itu sendiri; mungkin kelak kalian akan mengerti setelah aku memutuskan untuk bunuh diri.
Bogor, 22 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H