Moscow, 55 45 21 N, 37 37 2 E
Hotel Savoy
Cecilia merapikan kembali semua isi tasnya. Mereka sekarang memegang buku catatan itu. Kalau sampai mereka tahu catatan itu tidak ada gunanya, bisa berbahaya buatku. Aku harus segera pergi.
Ke mana aku harus pergi? WHO? CDC? MI6? CIA?
Pikiran Cecilia mencari rangkaian skenario paling baik dan memungkinkan untuk dijalani. WHO. Aku akan ke Jenewa. Marc memang bajingan konspiratif. Tapi aku tidak akan menemuinya. Aku akan langsung menemui direktur jenderalnya. Bagaimanapun caranya.
Malam itu juga Cecilia berbenah. Memesan tiket penerbangan ke Jenewa. Setelah itu pergi dari Savoy. Pindah ke hotel sedikit kumuh di dekat Bandara. Tidak lupa pula dokter yang sedang gundah itu membeli handphone sekali pakai. Cathy adalah sumber sangat penting. Semakin banyak yang bisa diketahuinya, maka semakin mudah Cecilia membuat rencana.
Cecilia tidak tahu. Beberapa menit setelah dia meninggalkan hotel, kamarnya kembali disatroni agen-agen GRU. Kali ini Ivan ada di antara mereka. Mereka tidak menemukan apa-apa.
Ivan menelpon seseorang. Menceritakan apa yang terjadi di Savoy. Catatan Cecilia sama sekali tidak berguna.
"Laksanakan Rencana Kedua. Kabari agen kita di Johannesburg!"suara dingin dan ketus terdengar di ujung telpon.
Ivan memberi pengarahan kepada timnya. Mereka berangkat ke Brazzaville besok pagi-pagi sekali.
Keesokan paginya, Cecilia hanya sempat melihat dari jauh saat Ivan dan 3 orang temannya boarding di pesawat ke Afrika Selatan. Hmm, mereka pasti hendak menuju Kongo. Apa rencana mereka?
Fabumi! Apalagi yang menarik perhatian lembaga sekelas GRU kalau bukan orang imun yang bisa dijadikan sumber membuat obat. Mungkin kepentingan yang dibela Ivan masih jauh lebih baik dibanding kepicikan Marc. Termasuk juga upaya Profesor Sato untuk menemukan cara menanggulangi virus dengan berahasia dan mesti ditemani CIA dan MI6, masih jauh lebih mulia.
Cecilia tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong lelaki itu. Paling penting sekarang dia harus menghimpun kekuatan. Potensi ancaman ada di 2 tempat yang sangat berjauhan. Dua-duanya sangat berbahaya. Dua-duanya bisa memicu kekacauan global. Dan yang paling mengerikan adalah, dua-duanya belum ada obatnya.
Dokter yang cerdas ini paham bahwa ada 2 hal di dunia ini yang sekarang jadi rebutan banyak pihak dan kepentingan. Â Object XÂ di Arctic dan Fabumi di Kongo. Keduanya adalah kunci penting untuk membuat benteng pertahanan terbaik melawan ancaman virus dan bakteri mematikan yang saat ini sedang menunggu pintu keluar untuk menjadi wabah.
Cecilia yakin peristiwa ini sudah tertangkap radar industri-industri farmasi. Keuntungan yang luar biasa menunggu mereka jika berhasil menemukan obat dari Mollivirus sibericum dan Bakteri Afrormasia. Mulai saat ini dia akan menamainya begitu agar mudah mengingatnya.
Mereka pasti berlomba-lomba menemukan sumber pengobatan. Demi kepentingan apapun itu. Finansial bagi industri farmasi. Perlindungan negara bagi para agen rahasia. Tanggung jawab bagi organisasi seperti WHO. Dan mungkin juga senjata bagi segelintir orang pintar yang punya pikiran anarkis. Lalu jangan dilupakan logika pikiran orang-orang super kaya dan sinting yang berharap ini akan menjadi pandemi agar populasi bumi terkendali.
Orang-orang imun atau korban nol di titik nol adalah aset bagi mereka semua. Dia, hanyalah spot kecil dari orang-orang yang berpikir tetang kemanusiaan. Chaos, kekacauan, kematian massal adalah hal paling terakhir yang ingin dia dengar dari berita. Inilah kekuatan pikiran yang sedang dibangun oleh Cecilia. Seorang penyintas yang berusaha mati-matian menyelesaikan semuanya. Seorang diri. Masih seorang diri.
Cecilia sangat berharap menemukan teman.
Dokter itu akhirnya terlelap di pesawat setelah punya harapan yang baru saja dicanangkan dalam pikirannya. Seorang teman.
Fabumi menyuapkan potongan terakhir buah apel ke mulutnya. Setiap hari dia disediakan makanan enak dan bergizi. Setiap hari pula serombongan orang-orang berbaju putih yang dipikirnya pasti dokter datang berkunjung. Memeriksa semua hal. Urine, darah, feses, hingga cairan dari rongga hidung dan mulutnya, tidak luput dari pemeriksaan.
Begitu yang harus dialaminya tiap hari. Dia sama sekali tidak menikmatinya. Fabumi sebenarnya akan dengan sukarela menjadi obyek penelitian demi sebuah obat yang bisa menghentikan kengerian seperti di camp logging Congo Basin. Mungkin mereka belum bisa menemukan atau sudah menemukan tapi belum bisa mengujinya. Kecuali jika mereka pergi ke pedalaman Cuvette dan melakukan percobaan kepada orang-orang yang terjangkit.
Bagaimana nasib kawan-kawannya di sana sekarang? Malam itu terjadi pembantaian yang dilakukan oleh Mister Bob dan anak buahnya. Mungkin orang-orang yang terjangkit sudah habis bermatian. Atau mungkin penyakit itu sudah terisolasi kembali di tengah belantara karena tak ada orang lagi yang bisa ditulari.
Lantas apa yang dilakukan Mister Bob dan Adisa tempo hari di Pointe Noire? Apakah mereka hendak membunuhnya karena dianggap sebagai saksi kasus pembantaian itu? Atau justru mereka ingin menghabisinya supaya tak ada lagi orang yang punya potensi tertular?
Tapi mereka tidak tahu kalau aku sudah tertular. Jadi kemungkinan pertama yang barangkali membuat Mister Bob memburunya. Fabumi menggeleng-gelengkan kepala mengusir risau yang menumpuki isi kepalanya.
Saat itulah tembakan pertama dimulai. Lalu dibalas oleh tembakan dari dalam rumah. Markas penyamaran DGSE diserang! Fabumi merebahkan tubuhnya ke lantai. Kongo adalah negara yang tidak pernah sepi dari konflik bersenjata. Fabumi tidak heran.
Saling tembak terjadi beberapa belas menit sebelum akhirnya suasana berubah sepi. Fabumi tidak berani berdiri. Dia sudah terasah dengan berbagai situasi peperangan. Ini belum benar-benar aman.
Benar saja. Sebuah ledakan menghancurkan pintu kamarnya. Beberapa orang yang mengenakan topeng dan menenteng AK-47 berderap masuk. Fabumi hanya merasa moncong pistol yang dingin menempel di pelipisnya.
"Jangan berontak! Kecuali kau ingin kepalamu meledak! Ikut kami!"suara berat yang mengancam itu memaksa Fabumi tergopoh-gopoh mengikuti para penculiknya keluar rumah.
Mayat-mayat bergelimpangan di ruang tengah, teras, dan halaman depan. Fabumi bergidik. Begitu mudahnya manusia saling bunuh. Menyedihkan.
Sebuah helikopter rupanya sudah menunggu di halaman belakang. Fabumi merasakan gelagat mereka menculiknya untuk tujuan yang sama. Dia hanya bisa pasrah dan berharap. Semoga Dewa-dewa Afrika melindunginya.
Bogor, 14 April 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI