Bagi seorang pengembara sepertiku. Tak pernah ada kata bertamu. Aku selalu berjalan. Berusaha menemukan, apa yang disebut sebagai adagium senja, momentum purnama , hingga ad infinitum matahari yang berpusara.
1) Senja kali ini. Adalah bagian terkini dari hari ini. Pada setiap kelahirannya, ada tangisan kecil yang merupakan anak-anak prahara. Ketika waktu terus berjalan, namun bumi masih harus terus meruam kesakitan.
Senja adalah adagium yang tidak pernah ditulis oleh para pujangga meski purbakala sudah lama memulai zamannya. Ia ada hanya ketika waktu memutuskan berlalu. Dan halaman rumah mulai kehilangan wangi bunga sepatu.
2) Momentum purnama tidak hanya berhenti di puncak malam ketika rembulan membagi-bagi cahaya tanpa sedikitpun niatan membunuh kegelapan. Karena itu sudah menjadi amanat yang tidak bisa diperjual belikan. Dan alamat pengiriman sudah pula ditetapkan.
Yaitu rumah orang-orang yang hatinya mulai padam. Karena kegelapan, bisa dengan mudah menyeret ketidaktahuan. Ke dalam keyakinan yang tak pernah diyakini. Pada kepercayaan yang tak pernah di percayai.
3) Bagi matahari, ad infinitum yang dipunyai, terkadang terasa seperti mencoba melelehkan lilin tanpa api. Di antara sekian banyak doa-doa yang menguar ke udara, mungkin hanya satu dua yang menyebut agar ia tak mati muda.
Sisanya, lebih lupa dari segala jenis amnesia.
Bogor, 17 April 2020
 Â