"Sefu!"jawabnya tegas.
Dokter Cecilia tertegun. Berarti tadi adalah gejala infeksi. Tapi kenapa sekarang kelihatannya Fabumi baik-baik saja. Apakah ini penyimpangan gejala?
"Kamu benar baik-baik saja Fabumi?" Dokter Cecilia mencoba memastikan dengan menyorotkan flash light dari gawainya ke mata Fabumi. Normal. Mukanya tidak pucat. Dan mulutnya tidak berbusa sedikitpun. Fabumi benar-benar baik-baik saja.
Fabumi tersenyum. Kali ini cukup lebar dan sama sekali tidak samar.
"Aku baik-baik saja Dokter. Tadi aku sempat kesakitan hebat. Tubuhku menggigil, mataku berkunang-kunang, dan kerongkonganku terasa sangat kering. Aku sempat tertidur dan merasa ajalku sudah dekat. Tapi setelah itu aku membaik begitu saja dan melihatmu kepayahan mendayung perahu."
Dokter Cecilia mendekatkan sinar gawainya pada lengan Fabumi yang terluka. Tidak ada yang aneh. Terlihat seperti luka biasa.
Serasa ada sebuah kilatan cahaya memasuki pikiran Dokter Cecilia. Tapi dia mencoba meredamnya dengan memastikan lagi sebuah pertanyaan.
"Sefu, kalian, apa yang dilakukan Sefu terhadapmu Fabumi?"
"Kami bergumul saat dia mencoba menyerangku. Aku mempertahankan diri dengan mendorong tubuhnya tapi Sefu sempat mencakar lenganku. Begitu kejadiannya Dokter."
Dokter Cecilia menghela nafas panjang. Lega. Fabumi adalah penyintas. Sudah jelas. Lelaki Swahili ini akan menjadi kunci jika sampai terjadi wabah bakteri unknown itu.
Di kantor WHO Jenewa, Marc meraih telepon mejanya dan menghubungi seseorang yang sedari tadi terlintas dalam pikirannya setelah mengikuti semua kejadian di gawainya yang terhubung sedari tadi dengan gawai Cecilia.