Sudah lama rasanya aku menyekap masa lalu di balik punggungmu
hanya terlihat ketika kau melangkahkan kaki
untuk pergi
katamu kau hendak menjemput beberapa bongkah ingatan
yang dulu sempat sepakat kita lupakan
dan kita lupa di mana meletakkan
Hari ini memang
kita tidak sempat bercanda
karena pelupuk mata banyak dikerubungi
kilasan berita-berita obituari
seperti sayap lemas burung kolibri
yang menyinggahkan paruhnya pada bunga terakhir
setelah yang pertama rasanya baru kemarin lahir
Rindu tidak selalu punya tuan, wahai puan
terkadang ia adalah ronin yang kehilangan majikan
mati terbunuh bukan oleh tebasan katana
namun terbujur kaku
di antara wilayah senggang yang begitu lengang
setelah berjibaku
dengan jarak yang membatu
dan juga waktu yang membeku
Tapi rindu juga bukan hamba sahaya, wahai puan
yang selalu menuruti perintah
untuk membersihkan pekarangan
dari serasah yang membelasah
setelah dihanyutkan hujan yang sangat gelisah
pagi tadi, ketika embun pertama baru saja dilahirkan
lalu mati dijatuhi cahaya matahari.
ia adalah pemberontak
yang menolak dikoloni
apalagi jika penjajahnya adalah ruang-ruang sunyi
Karena itu puan,
bersedihlah pada buku-buku
yang saat ini menjadi sarang kepedihan
karena orang-orang tak sanggup lagi membaca
iris matanya banyak digerogoti linimasa
dengan irisan-irisan berbahaya
Kamu puan,
jangan pernah takut untuk merasa rindu
meski tubuhmu dipenjara jarak dan waktu
karena kamu jelas lebih beruntung
dari buku-buku itu
yang telah lama kehilangan rindu
Bogor, 5 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H