Kita sedang berbicara tentang jarak. Mungkin sedekat apa anggrek bulan dengan serpihan cahaya rembulan. Atau barangkali sejauh apa antara langkah tak berdaya dengan hati yang terlunta-lunta.
Kita membicarakan semuanya tidak dengan mata berkaca-kaca. Karena airmata yang tersisa, telah disumbangkan bagi mereka yang kehilangan cinta. Di sudut manapun yang terlihat. Ketika para malaikat sibuk mempersiapkan liang lahat.
Setelah berbicara panjang lebar tentang peradaban yang sedang mempermainkan kurva kematian. Kita bersama duduk bersedeku menghadapi malam. Di antara beberapa rahasianya yang paling gelap, adakah yang masih bergerak dalam senyap.
Kerumunan demi kerumunan tersibak dengan sendirinya. Mencari jejak sunyi yang dulu bukan bagian dari saling sapa. Orang-orang kembali ke zaman ketika hutan dan gua-gua adalah wilayah kesepian yang paling menjanjikan. Untuk membersihkan diri. Sekaligus merenungi setiap jejak-jejak perjalanan hati.
Kita bersekutu dengan jarak dan waktu. Demi menguak labirin onak dan sembilu. Dan pada akhirnya kita pasti akan menemukan pintu keluar. Menuju cahaya matahari yang tak lagi membakar.
Bogor, 3 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H