Berulang-ulang, menuliskan kenangan
bukan berarti aku, penganut fanatik masa silam
yang kehilangan akal
lantas berlenggang kaki, memasuki dunia fiksi
sebagai satu cara, untuk melupakan realita
yang benar-benar berbahaya
Aku hanya ingin, tidak larut dalam kegelisahan
ketika diseret oleh peradaban
yang berkecepatan tinggi
sehingga kehilangan romantika,
sementara aku, lebih menyukai
drama dan segala perabotannya
agar tak menjadi orang gagal
di dunia yang semakin tidak masuk akal
Rasa cemas,
menjadi sangat berlebihan
di zaman yang tertata
namun sesungguhnya porak poranda
karena setiap hari kita
dibodohi dialektika
oleh kepintaran semiotika dunia maya
Rasa gembira yang sebenarnya
hanya bisa kita dapatkan
dengan menjelajah wilayah hutan
yang belum dijadikan meja prasmanan
oleh lelaki dan wanita yang lupa
seperti apa gurun dan savana,
juga berperahu di lautan
yang masih utuh ditunggangi gelombang
bukannya rangka baja raksasa
sedang menggali urat syaraf bumi
tanpa sanggup membebatnya kembali
Atau jangan-jangan
realita ternyata, juga sebuah drama
yang dimainkan segelintir orang
di panggung-panggung yang didirikan
dalam kegelapan
tanpa cahaya lampu
ataupun menengok masa lalu
Bogor, 27 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H