Sepotong buku cerita
tergeletak di cakrawala sandyakala
menunggu dibuka, lalu dibaca dengan seksama
sebagai pedoman, bagi siapapun yang mencinta
di musim dingin yang begitu menyiksa
Semenjak tadi
belum satupun mau menyentuhnya
karena nyaris semua orang sedang berbincang
atau memperbaiki tanaman, atau meredam pikiran
dan enggan membaca
karena buku-buku masa lalu
ternyata mampu meramalkan peristiwa kelu
di masa kini
dalam tubuh-tubuh puisi
yang mencaci dirinya sendiri
Senja tak banyak berubah
hanya saja nampak semakin menemukan arah
kemana harus tenggelam
kapan mesti menghilang
dan bagaimana kelak kembali dilahirkan
dalam wujudnya yang temaram
namun tak pernah punya sisi muram
karena sesungguhnya ia
mempunyai tugas
membimbing para penyintas
menyudahi hari secara tuntas
Malam yang sebelumnya
adalah ruang-ruang lengang
bertiwikrama menjadi
keramaian bintang-bintang
agar orang-orang masih bisa menyaksikan
betapa langit tetap menyajikan pagelaran
di musim hujan yang banyak kehilangan
kunang-kunang, percakapan, dan harapan
Ini tak ubahnya seperti
panggung teater yang semula sepi
lalu penuh sesak
karena mementaskan kisah-kisah kuldesak
yang telah kembali terbuka
dan semua pada akhirnya meyakini bahwa
asa itu tak pernah tertukar, terbakar, maupun moksa
seburuk apapun musim dengan segala pancarobanya
Bogor, 22 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H