Bagi seekor lebah, pagi adalah bunga yang selalu mekar. Mendengungkan perayaan, ada nektar sedang disajikan. Di sebuah tempat yang disebut taman, belukar, dan halaman. Baginya, perjamuan adalah sebuah cara untuk bisa kembali pulang. Ke koloni rasa manis di pohon Sialang.
Bagi seekor kupu-kupu, pagi adalah waktu. Menumbuhkan sayap yang bergambar. Terbang dalam perjalanan epik berlembar-lembar. Menuju episode metamorfosa yang sempurna. Dalam proses reinkarnasi yang paripurna.
Bagi seorang perempuan, pagi adalah sebuah pelukan. Tidak didapatnya dari mimpi di penghujung dinihari. Karena setiap mimpinya adalah masa lalu yang harakiri. Pagi, apakah itu fragmen mengumpulkan embun, atau lamunan yang habis-habisan dilanun, bagi seorang perempuan, tetap saja merupakan kehadiran sepercik senyuman.
Bagi seorang lelaki, pagi adalah jendela tempatnya melihat hujan berhenti. Dan saatnya pula mulai berlari. Mengenakan sepatu yang diikat simpul mati, menaiki sanggurdi, dan melintasi batas-batas demarkasi. Antara keinginan dan keyakinan. Bahwa sepotong hari yang berhasil dilalui adalah sama dengan menemukan kembali kerinduan.
Bagi matahari, pagi adalah kekasih yang telah disempurnakan. Tempatnya menitipkan sayap-sayap kecil kehangatan. Ketika rasa dingin masih menyisakan pertanyaan. Di mana letak sesungguhnya perbincangan. Pada saat dua hati kemudian kehabisan percakapan.
Jakarta, 11 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H