Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Perang Omnivora

11 Maret 2020   04:10 Diperbarui: 11 Maret 2020   04:11 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atas nama banyak perihal. Rasanya kita ingin membenamkan kepala di kedalaman bantal. Sampai saatnya terjaga dan kita merasa dunia telah kembali masuk akal.

Berita-berita beterbangan seperti laron di musim hujan. Keluar dari rongga-rongga tanah yang basah oleh hujan namun teramat sangat gelisah karena merasa tubuhnya sangat kekeringan.

Berita tentang perang dan kematian, menguar dari gurun pasir yang masih menggigil dalam sergapan musim dingin. Tapi, ledakan amunisi, ternyata cukup kuat untuk meledakkan oase demi oase tempat orang mencari air dan juga angin.

Ini bukan takdir. Bahkan langit yang runtuhpun punya sebuah alasan. Perang, adalah rusaknya sebuah tatanan. Di mana orang saling berbunuhan dengan gelap mata. Ketika pemakaman pun dilakukan tanpa upacara.

Air mata? Hanya dianggap sebagai air yang dijatuhkan retina. Bukan kerumitan rasa yang disebut duka.

Menyedihkan. Ini lebih dari sekedar omnivora. Manusia menjadi pemangsa atas dirinya. Demi kesenangan semata.

Jakarta, 11 Maret 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun