Dunia malam sekecil mata yang terpejam. Kegelapan menemukan dirinya sendiri di sini. Begitu pula suara-suara yang terdengar. Tak lebih pengar bila dibandingkan dengan semakin liarnya kabar yang beredar.
Sekarang, serigala menjerit di tengah kota. Mesin-mesin meraung di pedalaman desa. Sebuah paradoksal gagal yang bertubi-tubi dihadirkan di sekian banyak linimasa. Bumi, bukan lagi sebuah titik di semesta, namun telah menjadi, sebongkah noktah yang berbahaya
Situs-situs, koran-koran, televisi, menjadi setajam mata pedang. Bukan saja mengiris pergelangan tangan, namun juga berani memenggal kebenaran.
Peperangan, kelaparan, kehancuran, adalah ladang perburuan. Saling diperlombakan. Siapa paling banyak meliput orang mati, maka dia akan mendapat iklan lebih beberapa porsi.
Dunia nyata lebih menakutkan dibanding khayalan paling mengerikan. Setiap kali terjaga dari tidur yang tak lelap, pelupuk mata langsung saja ditusuk-tusuk berita gelap.
Tak ada lagi kisah-kisah romantika langit dan rembulan, senja dan hujan, pagi dan embun-embun yang bermatian. Puisi dan kopi? Paling awal dimasukkan peti mati.
Orang-orang lebih suka rumor daripada humor. Orang-orang lebih baik membaca kabar patah hati daripada berita tentang jatuh cinta lagi. Isu, dianggap air susu ibu. Jauh lebih bernutrisi daripada kebenaran yang kelu.
Ini, adalah dunia yang keramaiannya bertalu-talu. Namun sesungguhnya sangatlah gagu.
Bogor, 1 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H