Di sudut kota yang mana, aku bisa menemuimu, lalu kita bisa berbincang tentang stasiun kereta, hujan yang hampir reda, kabut yang turun di antara menara, dan hangatnya hati yang tak kasat mata.
Kita bisa duduk di peron sembari memberikan tatapan menyenangkan bagi orang-orang yang hendak pulang. Stasiun kereta ini sesungguhnya lebih berfungsi sebagai museum kenangan dibanding stasiun keberangkatan. Banyak memori tertinggal dibalik airmata yang tanggal. Mungkin saja itu cinta, perpisahan, atau bahkan rencana-rencana yang saling dipertemukan.
Sambil menunggu hujan yang hampir reda, kita bisa membaca buku-buku para empu yang dulu pernah menulis sejarah negeri ini. Kau boleh membaca bab-bab yang bercerita tentang madakaripura, sedangkan aku memilih menghabiskan paragraf-paragraf yang berkisah tentang kejayaan, keruntuhan, dan rasa merdeka.
Kabut yang sepintas kulihat membayang di bola matamu, ternyata kini sedang mencoba turun di antara menara-menara di langkan kota. Aku bilang itu barangkali adalah airmata paling kesepian yang pernah aku saksikan. Tapi kau menyanggah dengan menunjukkan keramaian pada tatap mata orang-orang yang sepagi ini telah berlalu lalang menjemput pertemuan.
Aku kira, kita sebaiknya segera memilih di gerbong mana kita melanjutkan cerita. Sebelum rasa dingin ini terus saja mengalirkan embun di bangku-bangku besi, juga sebelum matahari berubah menjadi artefak mati, aku masih punya persediaan hangatnya hati yang tak kasat mata. Sebuah kepastian untukmu bahwa yang tak nampak itu belum tentu tak ada.
Jakarta, 13 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H