Dari setiap puisi yang dilahirkan malam hari, rimanya banyak tersesat di gang-gang sepi. Mencari cahaya lampu, di ujung jalan, sebelum benar-benar kehabisan percakapan.
Pada saat diam adalah sebuah pilihan, maka puisi akan meletakkan dirinya di mimpi seseorang.
Di dalam mimpi, puisi akan menjadi bait-bait yang dibacakan tanpa suara. Membawa orang itu, pada sebuah fragmen kecil drama, yang terputus begitu saja, ketika pagi menghilangkan ujung skenarionya.
Pada akhirnya, sebagian mimpi berhasil terlahir sebagai filosofi. Sebagiannya lagi, mati dalam tembuni yang disebut kegelisahan. Terlarut dalam secangkir kopi, di meja sarapan, yang uap tipisnya menari-nari, dan berujung pada kecemasan.
Tentang apa saja. Mungkin perkara-perkara yang matang sebelum waktunya, atau rencana-rencana yang dimentahkan oleh musim pancaroba.
Lalu puisi menganggap dirinya sebagai partikel hujan yang berdansa dengan kesepian. Sangat berkelindan dengan apa yang disebut kenangan.
Jakarta, 8 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H