Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kecemasan, dalam Frasa Hujan yang Berkelindan

8 Februari 2020   00:19 Diperbarui: 8 Februari 2020   00:24 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari setiap puisi yang dilahirkan malam hari, rimanya banyak tersesat di gang-gang sepi. Mencari cahaya lampu, di ujung jalan, sebelum benar-benar kehabisan percakapan.

Pada saat diam adalah sebuah pilihan, maka puisi akan meletakkan dirinya di mimpi seseorang.

Di dalam mimpi, puisi akan menjadi bait-bait yang dibacakan tanpa suara. Membawa orang itu, pada sebuah fragmen kecil drama, yang terputus begitu saja, ketika pagi menghilangkan ujung skenarionya.

Pada akhirnya, sebagian mimpi berhasil terlahir sebagai filosofi. Sebagiannya lagi, mati dalam tembuni yang disebut kegelisahan. Terlarut dalam secangkir kopi, di meja sarapan, yang uap tipisnya menari-nari, dan berujung pada kecemasan.

Tentang apa saja. Mungkin perkara-perkara yang matang sebelum waktunya, atau rencana-rencana yang dimentahkan oleh musim pancaroba.

Lalu puisi menganggap dirinya sebagai partikel hujan yang berdansa dengan kesepian. Sangat berkelindan dengan apa yang disebut kenangan.

Jakarta, 8 Februari 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun