Katamu, aku lelaki yang kehilangan kabut. Menjadi pagi yang terlalu terang, tanpa rahasia, dan lebih sering bersikap kelabakan. Mungkin, katamu lagi, aku terlalu lama, kehilangan matahari. Disekap kedinginan, lalu menyekap kesendirian. Di suatu tempat, di ujung aspal, karena mulai kehabisan jalan.
Aku mengira, semua kau duga, dari sorot mataku yang cukup berbahaya. Dan iya, aku merasa aku adalah lelaki yang senang mengasah belati lewat ketajaman puisi, juga menyukai kisah samurai yang lahir dari kisah-kisah Mushasi, dan yang paling menakutkan adalah, aku tidak mencintai diri sendiri.
Kamu bilang, aku lelaki yang menemukan hujan. Di malam ketika mendung kehilangan biji mata, di siang saat langit kehabisan retina, dan di pagi manakala cuaca yang tersisa adalah tatapan yang bersahaja.
Sesungguhnya, aku hanyalah satu rintik gerimis yang mewakili sekian ribu sajak liris. Menjadi malam untuk tempat singgah rembulan, menjadi siang sebagai penampung keringat yang bertumpahan, dan menjadi pagi agar embun-embun yang terlanjur mati masih bisa diupacarakan.
Katamu kemudian, aku adalah rindu yang ditinggal oleh masa lalu. Menurutku, itu barangkali karena aku terlalu sibuk menjahit kelu di lidahku yang kaku. Tak sanggup lagi bicara. Hanya seperlunya saja. Sebab saat aku terlampau banyak berkata-kata, membuatku diasingkan heningnya sandyakala.
Dan akhirnya aku tetap kesepian belaka.
Bogor, 3 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H