Aku ingin mengajakmu menonton film horor. Tentang taring, darah, dan jasad bergeletakan. Tapi kau bersicepat menggelengkan kepala.
Katamu; apa yang lebih menakutkan daripada jatuh cinta di dunia nyata? Kepada seorang penyair yang seringkali menganggap takdir adalah bait-bait yang sumir?
Kalau begitu kita menonton saja film drama yang lebih banyak menguras persediaan airmata daripada duka yang sesungguhnya, bagaimana?
Katamu; apa yang lebih pedih dari patah hati karena padamnya rembulan yang diciptakan seorang pujangga di hatinya yang kehabisan cahaya?
Baiklah. Barangkali kita bisa berkompromi sedikit saja. Mungkin film perang akan menggugah adrenalin yang mendingin karena hujan dan angin.
Katamu; apa yang lebih mematikan dibanding menyuntikkan bisa kata-kata dari majas-majas yang melampaui aras dari seorang penyintas yang berusaha keras selalu melintasi batas?
Kalau begitu bagaimana dengan film percintaan. Jelas itu akan memuat kita bisa bermesraan habis-habisan dengan kelembutan rembulan dan matahari yang penuh kehangatan.
Kali ini kau berteriak selantang jeritan serigala di malam yang ditumbuhi utuhnya purnama;
Apa yang lebih mengerikan dari cinta yang menyala-nyala di dunia yang terbakar oleh pergerakan makar dari sorot mata seorang pemberontak barbar yang lebih memilih menenggelamkan dirinya di danau yang ditutupi semak belukar?
Kali aku berteriak sekencang badai yang menerobos kericuhan musim anai-anai;
Kau meminta setangkai bunga di gurun sahara di saat kita sedang berusaha mencari oase sederhana untuk sekedar menyudahi dahaga!
Bogor, 2 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H