Aku ingin memberi judul puisi ini. Menjauh dari kosakata sunyi. Bernafas ludah api, bermajas lidah matahari. Aku sedang menelan kemarahan. Hingga tulang belakang. Senjaku hilang!
Seharusnya, saat-saat seperti ini, aku bertatap muka, tanpa harus bermuram durja. Senja bagiku, adalah ibunda dari kata-kata. Sebuah rahim bagiku, yang darinya terlahir sajak dan puisi, juga kekuatan hati.
Semestinya, kala sandyakala beralih rupa, dari raut muka pura-pura Sri Rama, ke wajah beringas Rahwana, aku bisa mendulang kisah cinta Dewi Shinta. Ke sebuah sendratari. Ketika senja menyabung rona langit, lebur dalam warna-warni pelangi.
Namun saat ini, senja moksa entah kemana. Mungkin dilarung kecemasan. Di sungai-sungai yang tiba-tiba berarus jeram. Menuju muara berair payau. Menunggu kedatangan kemarau.
Barangkali juga senja sengaja menghilang. Menjadi petang yang enggan berbincang-bincang. Lalu menjadi malam yang kehabisan percakapan.
Bogor, 26 Januari 2020