Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menara Saidah

22 Januari 2020   02:00 Diperbarui: 22 Januari 2020   02:04 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mang Umang, penjaja nasi goreng yang biasa mangkal di Pancoran mendadak menghentikan dorongan pada gerobaknya. Matanya sempat menangkap sesosok bayangan di trotoar yang biasa dia lewati. Jantungnya nyaris berhenti. Saat ini dia tepat berada di pinggiran jalan yang sangat sepi.

Satu dari sedikit pinggiran jalan protokol di Jakarta yang jarang sekali dilalui orang di malam hari. Kalaupun ada, pasti bergerombol atau setidaknya setengah berlari. Pinggiran jalan yang menyajikan rasa ngeri. Pinggir jalan di depan Menara Saidah.

Sembari berusaha mengatur irama degup jantungnya yang tidak teratur. Mang Umang coba menajamkan penglihatannya. Bayangan itu seperti melayang memasuki lubang pagar seng koyak yang mengelilingi Menara Saidah. Menghilang begitu saja. Mang Umang bergidik.

Baru kali ini mamang tua penjual nasi goreng yang sudah bertahun-tahun mengadu nasib di ibukota, menemui kejadian aneh ini. Biasanya dia memang melewati depan Menara Saidah saat sore hari. Namun malam ini dia terpaksa lewat setelah jam 11 malam. Banyak sekali orang yang mencegatnya untuk membeli nasi dan mie goreng di gang depan rumahnya tadi.

Musim hujan dan udara dingin membuat dagangannya laku keras. Sekarang bahkan tinggal seperempatnya saja. Mang Umang sengaja tetap menuju ke tempat mangkalnya di sudut Pancoran. Banyak pelanggannya yang pekerja bangunan ada di sana. Menunggunya.

Bulu tengkuk Mang Umang meremang hebat saat tubuh tuanya diberanikan untuk terus melangkah. ini belum setengah perjalanan melewati Menara Saidah. Lubang yang dilewati bayangan tadi masih sekitar 20 meteran lagi. Mang Umang membaca doa apa saja sejadi-jadinya.

Mungkin karena gerimis, tidak terlihat sama sekali orang lewat di sekitar sini. Mang Umang sendirian menempuh wilayah menakutkan yang seringkali menjadi kisah urban legend itu.

Mang Umang bernafas lega. Nampak trotoar panjang di hadapannya terang benderang. Entah cahaya lampu darimana tapi Mang Umang senang. Dia tidak sendirian lagi.

Bahkan dari tempatnya sekarang Mang Umang mulai mendengar suara keramaian. Saking senangnya Mang Umang tidak peduli cahaya terang benderang itu berasal dari mana dan suara-suara itupun bersumber dari mana.

"Mang, nasi goreng dua ya? Pake piring aja jangan dibungkus," terdengar suara lembut tiba-tiba menyapa Mang Umang.

Mang Umang menoleh. Seorang perempuan cantik berbaju kantoran tersenyum ke arahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun