Narasi ritmis menyelinap di dalam benak yang berusaha keras menyimak irama gerimis yang sangat eksotis.
Aku berada di sana. Saat langit coba menyamarkan usianya yang menua, dengan memakai maskara hitam dari mendung yang begitu kelam. Ia berdandan. Di hadapan zaman yang terus menerus mengikis kepercayaan. Bahwa peradaban yang berlarian, bukan seperti rusa yang diburu singa. Menabrak dan menubruk apa saja.
Barangkali ini sebuah musikalisasi hujan dan panggung teatrikal dari cuaca yang menginginkan keadilan bersahaja. Jangan sampai musim yang melindap diartikan sebagai bagian dari semesta yang jatuh dalam gelap. Hutan-hutan yang cedera, lautan yang tersayat-sayat luka, dan sungai-sungai yang sekian lama mengalirkan rasa was-was akan marabahaya, tidak serta merta menjadi akhir dari segalanya.
Dunia ternyata hanya bisa dibagi dua. Menjadi bunga atau keranda. Tergantung bagaimana keputusan orang-orang dalam memilih; membuat taman, atau justru membesarkan pemakaman.
Dunia juga punya rencana-rencana bagaimana cara menarasikan rahasia. Entah melalui bencana, peperangan, atau genosida.
Dan kita hanya mampu terdiam seribu bahasa. Di tengah-tengah keramaian percakapan para malaikat pencabut nyawa.
Bogor, 18 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H