Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Frasa Hujan, Kopi, dan Senja Masih Menjadi Primadona

5 Januari 2020   23:56 Diperbarui: 6 Januari 2020   00:03 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu coba perhatikan ketika uap tipis di atas cangkir menari-nari ditiup angin tipis. Anda seakan dibawa ke sebuah suasana magis yang ritmis. Tidak perlu mempercayai tulisan saya untuk membuktikannya. Seduh segelas saja lalu lihat apa yang terjadi pada anda.

Senja
Tidak usah berbantah dengan saya apabila anda adalah salah satu dari sekian banyak orang yang selalu mengidam-idamkan senja dibanding menikmati fajar yang menyingsing di pelupuk mata. 

Saya pun sama dengan anda. Entah mengapa, senja seolah punya daya linuwih dibanding pagi. Mungkin karena senja adalah putaran waktu yang memiliki alarm tanda bahaya.

Kita akan segera memasuki kegelapan malam. Kita akan masuk dalam wilayah yang tak terpetakan. Kita akan berada di lingkungan misterius yang membutakan. Itu adalah beberapa hal yang mengamini kenapa senja lantas memiliki alarm tanda bahaya. Dan kita menyukainya karena pikiran kita lalu memintal segulungan asa agar masih bisa melihat matahari keesokan harinya.

Di dalam senja juga terdapat banyak sekali kata-kata yang terlahir secara bombastis. Segala jenis gaya bahasa ada di sana. Kita dengan mudah bisa membuat hiperbola, metafora, dan lain sebagainya hanya dengan menyaksikan tenggelamnya senja.

Misterius, penuh rahasia, mengancam, namun juga menerbitkan harapan, adalah segmen senja yang tak akan terlupakan bagi siapapun yang menyaksikan.

Akhirnya
Tak bisa dipungkiri, hujan, kopi, dan senja masih menjadi retakan hati yang dicari para penulis puisi. Dengan cara apapun juga, para penulis akan selalu memburunya untuk menjadi rahim kata-kata.

Dan itu sah-sah saja. Selama kata-kata yang dilahirkan tidak lantas membuat para penulis lupa pada pagi, melati, dan matahari yang saat ini sedang memandang penuh rasa iri.

Bogor, 5 Januari 2020

Bukan bermaksud menggurui. Ini hanya sekedar catatan kaki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun