Dari semua mendung yang ada
nyaris separuhnya, memandang putus asa
ke arah langit yang dirundung lara
hatinya patah, jiwanya lelah
menyaksikan bumi, menyakiti dirinya sendiri
melalui kisah-kisah asmara yang sepi
dari para kekasih yang lebih memilih harakiri
dengan cara menyetubuhi sunyi
Separuhnya lagi,
mencoba bergembira, menyiarkan musik orkestra
berupa hujan, berikut syair-syair indahnya
yang membasahi kekeringan
laring suara, yang kehabisan kata-kata
lantas kehilangan percakapan
di sebuah keramaian
ketika purnama, sedang sibuk mengiringi lolongan
para serigala alfa
yang sedang mengasuh anak-anaknya
Dari seperempat jiwa-jiwa yang lekang
semuanya berkeinginan untuk pulang
mencari jalan lapang
dan juga berlampu
karena kegelapan
sangat mampu mencekik leher
dan mengiris urat nadi
dalam kesepian, tak terperikan
Sisanya,
berharap bisa berjumpa, dengan kerinduan
yang nyaris saja
dipunahkan oleh buku-buku
para pujangga yang bersekutu dengan waktu
lalu menggubah lirik-lirik lagu
ke dalam nyanyian rumpun bambu
menyayat hati, mencabik memori
melalui rangkaian diksi
dalam bait-bait yang memanjati dinding sunyi
hingga sampai di sebuah tempat
yang salah alamat
seharusnya bercengkrama dengan bidadari
namun ternyata malah menyalakan api
yang menghanguskan serambi hati
Bogor, 28 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H