Pernahkah kau melihat? untaian mutiara
bergantung lemah di jari jemari cemara
menunggu runtuh
saat pagi menyanyikan dendang megatruh
dan matahari mulai terpenggal lehernya
bersama tergelincirnya cahaya
di rerumputan yang basah
dan pokok kamboja yang nampak gelisah
antara memilih menggugurkan bunga
demi sebuah upacara
memperingati kematian demi kematian
atau membiarkan kecemasan
terdiam di beranda
ketika hujan tak juga reda
Pernahkan kau merasa? Kehabisan kata-kata
saat menulis puisi
di sebuah pagi yang sepi
tentang anak-anak gerimis
yang menyimpan sekian banyak memori
pada setiap tetesnya
sehingga kau memutuskan
menjadi gagu
agar tak diajak berbincang masa lalu
Pernahkah kau tersenyum lebar?
ketika hari dimulai dengan muram
langit menyerupai kertas buram
dan udara bertambal-tambalan
dirobek-robek ingatan silam
tentang kenangan
yang tak mau dikenang
dan sudah terlanjur disimpan
di rak-rak almari
yang terkunci mati
Tapi,
aku pikir kau pasti
pernah berjumpa dengan pagi yang baik hati
memberimu tatapan mutiara
dari kilau jemari cemara
lalu mengajakmu menyingkirkan masa lalu
menjerangnya dalam tungku
dan menyajikan di meja sarapan
manisnya harapan di masa depan
Bogor, 25 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H