Ibuku adalah semesta cinta. Sekaligus pusaran cuaca di antaranya.
Dia adalah segala musim yang aku butuhkan. Di saat kemarau rajin mengirimiku banyak pesan samar tentang hati yang kering dan terbakar, dia hadir sebagai hujan. Membasahi setiap kali mengeringnya keyakinan. Bahwa musim panas tidaklah mematikan.
Begitu segala bentuk kekacauan membanjiri benakku yang terlanjur usang, dia memberiku pesan sederhana mengenai kata pulang. Bersimpuh di ujung sajadah tua. Bahwa harapan bisa jadi memang cepat menua. Namun akan selalu sanggup melahirkan anak-anak asa secepat kupu-kupu bermetamorfosa.
Dan dia tidak pernah menjadi musim dingin. Karena hatinya selalu sehangat perapian yang diabadikan angin. Aku suka berada di dekatnya. Mengais setiap bara dari tatapan matanya. Juga hembusan nafasnya, yang akan selalu menjadi air susu. Agar aku tak pernah diperdaya oleh buruknya perputaran waktu.
Ibuku adalah susunan tata surya di sekelilingku yang kadangkala memilih gagu daripada harus bersuara tapi bisu. Dia menjadi matahari, tatkala aku nyaris mampus dikoyak-koyak sepi. Dia menjadi rembulan, ketika aku menganggap purnama telah mati ditelan berbagai rencana harakiri. Ibuku adalah galaksi Bima Sakti. Sedangkan aku, adalah bumi yang selalu dijaganya agar terus berotasi.
Ibuku adalah serigala alfa. Dia berburu di pedalaman belantara. Aku mengikutinya, belajar bagaimana cara mencari nektar di antara bisa. Menjadi siapa ketika harus berhadapan dengan keruhnya airmata dan runtuhnya bulir-bulir cinta. Berlaku seperti apa untuk meraih kemungkinan di saat berada pada titik nadir dan bergulirnya takdir. Pada perihal-perihal sumir.
Ibuku adalah surga. Aku sedang membuat titian melalui doa-doa.
Bersama serpihan permohonan yang aku naikkan keranda. Menuju pusaranya.
Bogor, 22 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H