Pada rintik hujan? Bukan! Kenangan lebih pekat daripada mendung yang melahirkannya. Hujan hanya membangkitkan, tapi tak akan mampu menguburkan. Sekalipun disertai badai taifun. Atau mendatangkan berduyun-duyun para pelanun. Kenangan akan tetap berdiri setegak berhala-berhala Fir'aun di zaman majnun.
Pada berjilid-jilid puisi? Nehi! Kenangan telah menciptakan majas sendiri yang tak ada dalam daftar gaya bahasa. Ia lebih garang dari hiperbola. Ia lebih jalang dibanding metafora. Pada ruang-ruang sempit kosakata, kenangan menjelma menjadi raksasa yang fasih meludahi rasa.
Pada kerumunan benak? Tidak! Kenangan lebih lihai menyusup ke pedalaman hati. Menyusuri setiap langkan secara hati-hati. Lalu meledak seperti gunung berapi. Membanjirkan lava melalui aorta. Kemudian menyala sepenuh bulatan retina.
Kuburan paling tepat untuk memakamkan kenangan terletak di celah antara awan, buku-buku, dan pikiran.
Pada awan, ia bisa melebur dalam gulungan duka. Diusung dalam keranda yang ditanggai bianglala. Lalu dimakamkan di pinggiran purnama. Menjadi spektrum redup cahaya.
Pada buku-buku, ia memaku dirinya pada bab-bab yang membelasah. Menjadi risalah sejarah. Hingga akhirnya beranjak punah.
Pada pikiran, ia berdiam di ruangan yang terkunci rapat dengan anak kunci yang telah dibuang sejauh-jauhnya. Kenangan akan terkubur lama. Hingga kelak akan tiba masa menagih janjinya.
Kutai, 3 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H