Sehabis hujan. Di perdikan kecil yang memanggungkan Maiyah di beranda depan. Berbicara banyak hal. Tentang perkara mursal dan bagaimana menjadikannya gagal. Seperti,
udara yang menyusup di balik pori-pori Cemara yang tidak pernah kedinginan karena selalu menyimpan tak terhitung kenangan. Tentang bukit-bukit tinggi yang sanggup menjangkau lengan matahari. Juga tentang sawah-sawah yang terhampar seluas sajadah di muka bumi.
Maiyah memang mampu menjadi utusan gelisah yang menawarkan cara-cara untuk tidak berdiam di dalam kurungan. Jika kau mendengarnya, mungkin itu lelucon terkacau di dunia. Saat aku mendengarkan, aku paham mengapa di dalam kekacauan itu tersimpan harta karun terbesar semesta. Yaitu,
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya hanya bisa dimasukkan dalam kotak pandora. Begitu kau membukanya, maka berhamburanlah segala macam rahasia. Baik yang lebih malam daripada dinihari. Maupun yang lebih siang dari puncak terik mentari.
Besok dan lusa aku akan coba membacanya dari gerak bibir derita yang meronta-ronta. Saat kelaparan, peperangan, dan rebut-rebutan, mengakui dirinya sebagai duta peringatan. Bahwa paradoksal itu sengaja diciptakan agar semua orang terjebak dalam paradigma frontal. Lalu, sang waktu menyeretnya sebagai lembu. Hingga,
tak ada batasan jelas betapa kita semua telah diretas. Di dalam kode genetika dan senyawa yang sangat getas.
Mudah patah. Seperti apa yang coba disimpul mati oleh Maiyah.
Bogor, 24 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H