seperti angin,
yang terlalu dingin untuk dibiarkan bertiup
di antara kehangatan perapian
dan tungku yang cuma menyala suam-suam kuku
pada sebuah malam
ketika purnama merebahkan dirinya
di langkan jiwa-jiwa merana
akupun meletakkan separuh pikiran
di atas pembaringan
separuhnya lagi
kusimpan di jendela kaca
untuk menghalangiku dari dunia luar
yang terus saja berkirim kabar
tentang wajah langit yang makin memudar
setelah tajam lidah peradaban
terus menusukkan ujung lembing yang terbakar
entah bagaimana ini semua bermula
entah seperti apa caranya
namun ternyata
langit jadi palagan
pertempuran yang tak punya pemenang
hanya kematian demi kematian
tanpa sempat mengadakan
upacara pemakaman
Jakarta, 24 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H