Dalam semesta yang nampak gamang, langit terlihat begitu kelabu seakan belum lama ini hatinya habis tercuri oleh hujan. Aku berada di antaranya. Memaku mata pada pemandangan tak biasa di bawah cemara. Senja sedang tertatih-tatih tiba. Dengan raut muka tanpa maskara. Juga pipi yang kehilangan rona.
Orang-orang menghabiskan liburan dengan memanjakan lidahnya di dinding-dinding sosial media. Berkata-kata tentang cinta lalu meludahkan gerutuan di atasnya. Melukis mural tentang kerinduan tapi mencoret-coretnya kemudian dengan alasan yang tak masuk akal. Katanya rindu adalah pekerjaan paling jemu dari para intelektual yang merasa dirinya gagal.
Burung-burung berlepasan dari mulut orang-orang yang bicaranya kelepasan. Terbang kesana kemari mencari dahan tertinggi. Dari sana, ulasan yang tertunda tentang berita apa saja bisa disiarkan kemana-mana. Menjadi hidangan malam, makan siang, dan sarapan yang bertabur garam, gula, sekaligus cuka. Dalam satu resep yang tak pernah diturunkan dari leluhur manapun juga.
Terkadang perbincangan akhirnya kehabisan pertengkaran. Dihanguskan kemarau atau larut dalam rintik hujan. Atau karena laring tenggorokan pada akhirnya keletihan dan memutuskan untuk diam. Menunggu kata-kata tajam disusun kembali. Dari anyaman dahak dan duri yang ditempa oleh para pandai besi.
Bogor, 9 Nopember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H