Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Almanak Purnama

29 Oktober 2019   17:58 Diperbarui: 29 Oktober 2019   18:16 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya rasa, tidak ada cara lebih tepat untuk memanjakan mata selain mencumbukan irisnya dengan bibir senja. Ada gairah yang tak lekang di sana. Menumbuhi ufuk. Menyamarkan sekian banyak perkara buruk.

Saya juga berpikir, alangkah baiknya berdamai dengan badai. Mungkin akan timbul kekacauan. Namun sesudahnya saya sadar bahwa tidak ada satupun yang boleh dianggap usai. Kecuali jika itu mengenai perselisihan dengan rembulan.

Tentang perjalanan purnama. Akan selalu tepat pada almanaknya. Tak bergeser sedikitpun. Walaupun saat ini waktu habis-habisan dilanun.

Saya pernah berseteru dengan waktu. Mengenai kematian kupu-kupu. Kecantikan yang begitu cepat menghilang. Sementara keburukan berusia lebih panjang. Dengan segala tingkah polahnya yang jalang.

Pada almanak purnama saya percaya. Cinta itu datang bersama kedatangan cahaya. Di kegelapan hanya tersedia rahasia. Jarang terbuka selayaknya puncak misteri kotak pandora.

Pada almanak purnama pula saya meyakini. Bahwa malam sebenarnya adalah kotak penyimpanan. Dari sekian banyak kenangan yang bergelimpangan. Baik yang akhirnya bersua. Maupun yang pada kesudahannya terperangkap dalam lupa.

Jakarta, 29 Oktober 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun