Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mosaik Senja Ditenggelamkan Amarah

26 Oktober 2019   17:26 Diperbarui: 26 Oktober 2019   17:25 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: individualsanonymous.com

Serangkaian kalimat yang terpenggal berubah menjadi kanibal. Mengunyah dirinya sendiri menjadi kehilangan arti. Hanya merupa jejeran arca rusak yang tak layak dipuja. Kedaluarsa.

Kata demi kata jatuh bersama hujan yang tiba kesorean. Hanyut dalam kenangan lalu berkubang di genangan. Menjadi kolam-kolam kecil yang tak menemukan selokan. Tak tahu arah pulang.

Senja terhumbalang seperti mata kehilangan kornea. Larut dalam sepi yang berbahaya. Ketika orang-orang memilih bersembunyi. Di antara pagar ilalang yang berbaris rapi. Layaknya pasukan Terrakota yang berani namun gagu. Berjaga sesuai perintah Sun Tzu. Jangan sampai takluk oleh waktu.

Hujan telah berhenti lama. Tapi langit masih bermuram durja. Menyumbat keramaian kota. Dalam suasana gamang tanpa percakapan. Ditelan denting lirih sendok beradu dengan cawan. Dalam opera kopi sachetan.

Cemara yang tinggal satu-satunya. Menjatuhkan sirip daunnya yang tersisa. Bergelung di tanah basah. Melepaskan lelah. Setelah sekian lama coba menuliskan sejarah. Tentang bait-bait puisi yang nyaris punah. Pada mosaik senja yang ditenggelamkan amarah. Luluh lantak dirasuah.

Bogor, 26 Oktober 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun