Jika ini dianggap malam, puncak perseteruan antara cahaya dan celaka, kenapa masih ada harapan yang mencoba memanjat kaki langit yang membuta? Tertusuk matanya oleh ujung pendulum waktu, yang selalu tiba tanpa pernah terburu-buru, namun mampu menyulut kenangan yang paling bisu.
Jika ini adalah peraduan, tempat keletihan dibaringkan lalu dianyam ulang menjadi keinginan, kenapa mimpi yang datang selalu saja mengancam? Menyeringai serupa hyena, terbahak laksana dursasana, lantas mencabik-cabik seperti gerombolan Sarcoramphus papa.
Jika ini adalah perjalanan, bergemuruh saat memulai keberangkatan, lalu diam-diam menuju heningnya kepulangan, kenapa selalu saja berjeda dalam deretan koma? Seperti rumus matematika bertemu dengan peliknya bahasa, tak pernah bisa bersua sewajarnya. Saling bersengketa karena tak berjumpa dengan titik di antaranya.
Jika semua lantas menjadi tanya, di mana letak jawaban sesungguhnya? Apakah di anomali cuaca ketika hujan ternyata sanggup membakar? Atau ketika panjangnya kemarau menenggelamkan sekian banyak kabar?
Dunia penuh dengan paradoksal yang gagal. Terutama saat malam tidak lagi menyediakan utuhnya peraduan. Dan perjalanan yang dilakukan lebih banyak habis hanya untuk menggumamkan pertanyaan.
Bogor, 26 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H