Di saat setangkai pagi masih sanggup memekarkan diri di antara kerumunan orang-orang yang lintang pukang berlarian mengejar jadwal kereta, orang-orang yang berdesakan di gang-gang sempit ibukota, orang-orang yang mengular seperti pajangan trotoar menunggu kedatangan angkutan kota, lalu mengucap syukur dengan melepas doa-doa ke udara, maka aku rasa dunia masih baik saja-saja.
Pada suatu ketika pagi masih bisa menyertai perjalanan orang-orang yang masih menggenggam mimpi di tangan kiri, sementara tangan kanannya sibuk menepis sunyi, lalu dari pandangan matanya berhamburan cahaya matahari, maka aku rasa asa juga belum lagi berada di dalam peti mati.
Manakala sepotong kegelapan menyudahi kelelahan, dari orang-orang yang menghabiskan nyaris semua tetes keringatnya untuk merebus harapan, di sela-sela peradaban yang mengaku sebagai wilayah kebebasan, setelah itu pulang masih dengan keramaian senyuman, maka aku rasa hari-hari masih berada di ruang yang sebenarnya, belum disesatkan oleh petunjuk linimasa yang mengada-ada.
Di suatu masa, ketika pagi menyerupai sandyakala, menyamarkan aroma bahagia dan menyembunyikan tubuh-tubuh asa, orang-orang mulai mengosongkan mata, menggadaikan retina, dan mencabik-cabik sendiri hatinya, maka itulah saat semua tidak baik-baik saja. Â
Mungkin itulah saatnya kita melakukan euthanasia.
Jakarta, 10 Oktober 2019