Kali ini, berlarik-larik puisi belum jadi, berjajar di laci dan almari
menanti, majas paling tepat dan kekuatan hati paling amanat
untuk membuatnya tamat, bukan sebagai memori paling laknat
atau kenangan yang tidak pernah rekat
namun punya sebenarnya arti, tentang berakhirnya hari
dan dimulainya senja yang nyaris mati
Mengambil petak belum terisi, di ruang-ruang otak yang berapi
lalu menuangkan curah hujan tak seberapa
hingga penuh di dalamnya
asal jangan meluber menjadi airmata
karena jelas itu merusak retina
yang mestinya bisa untuk melihat
di mana tempat paling tepat, menyaksikan purnama lewat
Jalanan yang sepi, lorong-lorong yang cuma dilalui mimpi
adalah arah yang gamang
untuk dijadikan jalan pulang
bagi seekor kunang-kunang
yang tersesat di padang ilalang
sebab pucuk rerumputan terlalu tinggi
dengan lengan tajam yang sanggup melukai
Jalanan yang gaduh, gang-gang kumuh
barangkali lebih memadai
untuk dijadikan tempat bersembunyi dari badai
karena anginpun enggan berpusar
di kota-kota yang selalu gusar
dan lebih memilih menjadi busuk
daripada harus menjadi yang terkutuk
Semua ini, adalah analogi dari takdir
yang seringkali dipelintir, sebagai titik nadir
sehingga orang-orang mengiyakan
ketika menemui patahan-patahan rembulan, di selokan
sebagai keberuntungan
atau ketika menjumpai ceceran sayap elang, berhamburan
di hutan-hutan yang ditinggalkan
sebagai kesialan
Bogor, 6 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H