Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Air dan Langit di Matamu

3 Oktober 2019   16:36 Diperbarui: 3 Oktober 2019   16:33 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Air mengalir tak terencana di kubangan retina terutama ketika kau sedang cemas menanti kehadiran kenangan yang memberitahumu hendak bertamu. Bagimu kenangan itu lebih istimewa dibanding sepotong bianglala yang diiris-iris sebagai kudapan orang-orang yang mengunyah pilu.

Kau sudah mandi dan duduk dengan rapi di hadapan semak perdu melati. Segelas kopi yang kau jerang di kedalaman hati, setangkup roti manis yang ditaburi sejumput pagi, dan sebait sajak yang kau kutip dari pujangga patah hati, juga segenggam dendam yang telah kau sayat belati, menemani.

Langit yang singgah di iris mata memberitahumu bahwa senja akan datang terlebih dahulu. Ada kisah yang akan dibacakan di depanmu. Tentang hujan yang berdansa sendirian di penghujung malam, merasa begitu kesepian. Tentang garis tangan yang hilang karena terlalu lama menggenggam kenangan, terasa sebagai sebuah kekacauan. Juga tentang senyum paling tulus yang tertinggal di masa silam, ketika kau menyudahi perbincangan dengan masa depan.

Air kemudian melangit menjumpai dinding mata yang berkejap basah dibanjiri gerimis petang. Kau mengeluarkan sebilah kelewang dari sudut mulut yang telah kau asah menggunakan rasa kehilangan. Kau hendak membelah-belah sisa kenangan dengan keberanian seorang panglima perang. Lalu kau campakkan serpihannya di sudut paling gersang pada padang tundra yang tak pernah disinggahi rembulan.

Kau tertawa. Sedikit mendirikan bulu roma. Mungkin itu pertanda bahagia. Semoga saja.

Air dan langit lalu menyatu dalam hujan yang sempurna. Mungkin itu pertanda sederhana. Bahwa ia mengaminimu dengan doa-doa di setiap rinainya.

Jakarta, 3 Oktober 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun