Puing-puing matahari
jatuh berserakan, di malam yang kehabisan persediaan mimpi
orang-orang telah memusnahkan setiap tetes lamunan
dan membakarnya di tungku pendiangan
maupun mencincangnya di waktu bersamaan
dengan ritual perburuan
ketika waktu, mengutuk pendulumnya sendiri
dengan cara menghentikan peredaran rembulan
di almanak yang juga dirobek-robeknya sendiri
Kesepakatan ditunda
antara mata yang ingin terus melihat bunga
di gurun yang kaktuspun cuma sanggup merangkaki cuaca
dengan hati yang ingin terus mengenang masa silam
pada rintik hujan terakhir beberapa bulan yang telah berselang
Sajak dan puisi berjalan di gang-gang buntu
menyaksikan ledakan amarah tanpa kata-kata
ketika setiap raut muka
bersungut-sungut membuka pintu
mempersilahkan kegerahan datang bertamu
Keping-keping hati
dikumpulkan dalam cawan-cawan perjanjian
untuk nanti diminumkan
saat rembulan mengalami gerhana
sehingga setiap wajah yang enggan menengadahkan mata
mengira malam tetap purnama
Sajak dan puisi memasuki gerbang istana
melihat sekumpulan orang membariskan rencana
di halamannya yang sebagian ditumbuhi rumput teki
dan sebagiannya lagi mengering menunggu mati
Setelah dengan sengaja meracuni dirinya sendiri
Jakarta, 21 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H