Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puing-puing Matahari Menjerang Keping-keping Hati

21 September 2019   06:04 Diperbarui: 21 September 2019   06:08 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puing-puing matahari
jatuh berserakan, di malam yang kehabisan persediaan mimpi
orang-orang telah memusnahkan setiap tetes lamunan
dan membakarnya di tungku pendiangan
maupun mencincangnya di waktu bersamaan
dengan ritual perburuan
ketika waktu, mengutuk pendulumnya sendiri
dengan cara menghentikan peredaran rembulan
di almanak yang juga dirobek-robeknya sendiri

Kesepakatan ditunda
antara mata yang ingin terus melihat bunga
di gurun yang kaktuspun cuma sanggup merangkaki cuaca
dengan hati yang ingin terus mengenang masa silam
pada rintik hujan terakhir beberapa bulan yang telah berselang

Sajak dan puisi berjalan di gang-gang buntu
menyaksikan ledakan amarah tanpa kata-kata
ketika setiap raut muka
bersungut-sungut membuka pintu
mempersilahkan kegerahan datang bertamu

Keping-keping hati
dikumpulkan dalam cawan-cawan perjanjian
untuk nanti diminumkan
saat rembulan mengalami gerhana
sehingga setiap wajah yang enggan menengadahkan mata
mengira malam tetap purnama

Sajak dan puisi memasuki gerbang istana
melihat sekumpulan orang membariskan rencana
di halamannya yang sebagian ditumbuhi rumput teki
dan sebagiannya lagi mengering menunggu mati

Setelah dengan sengaja meracuni dirinya sendiri

Jakarta, 21 September 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun